Menghadapi Arus Timeline Social Media
Timeline Social Media memompa apapun yang memang sudah ada dalam dirimu. Kalau baik, ya bagus. Kalau buruk, ya masalah.
Bapak ku nanya, "lihat ga yang lagi viral?". Aku dikasi liat sebuah video di Instagram Reels. Video ini ga pernah muncul di timeline ku. Dan menurutku, video ini ga rame-rame amat. Tapi bapak ngotot, kalau ini memang lagi viral 😂
Menurutku, sepertinya bapak merasa semua yang muncul di layar hp-nya, juga muncul di hp-ku. Apa yang dia lihat di layar, adalah apa yang lagi rame. Kalau iya, maka hal-hal kayak gini lah yang bikin aku resah.
Social Media itu punya Algoritma. Sistem perhitungan yang membuatnya bisa memberikan rekomendasi tontonan sesuai dengan kesukaanmu.
Kalau suka Musik, maka yang di rekomendasikan ga bakal jauh-jauh soal Musik.
Kalau suka Kuliner, yang di rekomendasikan ga bakal jauh-jauh soal makanan dan minuman.
Kalau suka Gosip, yang di rekomendasikan ga bakal jauh-jauh soal kabar-kabar selingkuh atau kabar-kabar panas lainnya 🥵.
Begitu terus. Mereka berusaha mengenalimu.
Berapa lama kamu liat sebuah postingan.
Postingan siapa saja yang kamu like.
Postingan siapa saja yang kamu komen.
Kemana aja kamu main waktu malam minggu.
Kamu bikin story biasanya sama siapa aja.
dan masih banyak lagi... (sing bakat ban nuturang mekejang dini)
Jadi kalian cowok-cowok, kalau masih suka ngintipin profil mantan atau profil cewek-cewek seksi, ga usah deh sok-sokan ngehapus history pencarian. Algoritma tau. Dia mengenalimu. Bahkan (mungkin) lebih mengenalimu dari dirimu mengenali dirimu sendiri.
Sistem Algoritma seperti ini (yang memunculkan apa yang kamu suka) sangat umum di Social Media seperti Instagram, TikTok, dan Youtube. Mungkin ada juga yang beda seperti Twitter/X, yang mencoba menunjukkan postingan yang berbeda dengan nilai-nilaimu. Biar kamu komen, jadinya rame 🤣
Intinya tujuannya cuma satu. Agar kamu semakin lama diam di sana.
Semakin lama kamu di sana, semakin banyak kamu melihat iklan.
Semakin banyak kamu melihat iklan, semakin banyak pihak yang tertarik beriklan di sana.
Semakin banyak pihak yang tertarik beriklan di sana, semakin profit perusahaan social media. Mantap.
Kelihatannya sih memang ga ada yang salah dari sistem rekomendasi seperti ini. Pihak perusahaan dapat duit dari pihak yang beriklan. Timeline mu juga bagus, karena cuma berisi hal yang menarik dan menurutmu bagus. Namun, apakah yang menurutmu bagus, sudah pasti bagus?
Social Media ini seperti pompa. Dia akan memompa apa yang sudah ada dalam dirimu. Seperti contoh di atas, ketika kamu suka musik, lalu diberikan tontonan makin banyak soal musik. Ga mungkin kamu ga makin suka sama musik? Pasti makin suka. Sistem ini semakin memvalidasimu kalau musik ini pasti bagus, dan kamu mungkin merasa semua orang pasti suka musik seperti ini. Ego-mu ikut terpompa. Semakin ego-mu tervalidasi, semakin ego-mu terpompa.
Kita flashback dikit ke tahun lalu. Tahun Pemilu. Semua orang punya opini soal siapa yang paling cocok jadi pemimpin. Bahkan ada juga yang merasa tidak ada yang layak dipilih. Social Media bisa punya peran di sini. Mereka bisa jadi tukang kompor buat opinimu itu. Tentunya dengan memberikan validasi terhadap pilihanmu, dan unvalidasi terhadap lawan pilihanmu. Pasti.
Jadi, yang hebat memainkan social media ini kemungkinan besar bisa jadi pemenang pemilu. Ya kan~?
Cukup sulit meng-handle ini. Kita aja bisa sulit. Apalagi anak kecil. Pernah gak liat orang tua memberikan anaknya yang masih kecil nonton video pendek di Social Media. Apa ga ngeri-ngeri kah? Coba deh dipikirin. Apa yang anak-anak suka tonton? Sudah pasti kah yang dia tonton itu baik? Social Media tidak akan peduli itu baik atau tidak. Selama disukai, yasudah gas, kasi tambah tontonan begitu lagi.
Well, aku sendiri lumayan cemas dengan situasi ini. Aku takut dibutakan oleh ego-ku sendiri.
Aku takut merasa apa yang aku sukai sudah pasti disukai orang lain juga. Padahal kesukaan orang berbeda-beda.
Aku takut merasa apa yang aku percayai sudah pasti yang paling benar. Padahal belum tentu benar.
Tidak ada ruang untuk tersentuh selera yang berbeda.
Tidak ada ruang untuk terbentur pilihan yang berbeda.
Tidak ada ruang untuk tercerahkan kebenaran yang akurat.
Jadi, aku mencari cara, "gimana biar ga kayak gitu?". Dan yang aku temukan bukan teknologi yang lebih canggih. Tetapi menambah kesempatan bertemu orang lain. Iya, orang lain dengan cara pikir atau mungkin selera yang berbeda. Agar tidak ketemu lagi dan lagi dengan apa yang aku suka & percayai aja. (Eh, jangan-jangan sekarang banyak orang yang terlalu narsis gara-gara algoritma seperti ini ya? Ga mau ah)
Ngobrol sama orang lain, bikin aku ter-expose dengan hal-hal yang belum pernah aku temui sebelumnya. Sebagai contoh, temenku suka dengan sebuah karakter kartun yang seolah-olah memiliki jiwa dan dapat berinteraksi melalui live streaming. Di belakangnya ada orang yang memberikannya suara, dan bisa menggerakkan karakter ini. Persis seperti wayang yang dimainkan oleh dalang. Cuman, bukan wayang tapi karakter kartun ala anime-anime jepang. Namanya V-tuber. 😭
Sumpah. Aku baru tau. Ternyata ada orang suka dengan yang namanya "V-tuber". Lebih mengejutkannya lagi, adikku sudah tau V-tuber, lalu dia mengedukasi aku dengan hal ini. 🤝
Di cerita yang lain, di sebuah tongkrongan, temanku mengubah pilihan politiknya setelah argumennya terbentur dengan argumen yang lain. Tentunya sulit ditemukan kalau cuma liat timeline di Social Media
Ketemu sama orang di luar arus algoritma ini ga harus ketemu sama orang secara langsung di dunia fisik (selamat untuk sobat Introvert). Bisa saja melalui pesan teks seperti WhatsApp, atau platform komunitas seperti Discord. Aku sendiri, sedang mencoba membuat sebuah komunitas membaca buku di Discord. Sangat seru 🥹🌻
Beberapa tahun lalu aku pernah dengar cara pikir yang menarik. Aku lupa persisnya ketemu di mana. Kurang lebih begini
"tunjukkan aku timeline-mu, maka aku bisa melihat masa depanmu"
seolah-olah menggantikan opini populer
"tunjukkan aku 5 teman terdekat-mu, maka aku bisa melihat masa depanmu"
Saat itu aku merasa, "wah bener juga". Tapi setelah kupikir-pikir, opini tentang lingkungan terdekat ini belum usang. Masih relevan.
Lingkungan terdekat kan punya peran besar mencipratkan cara pikir & seleranya. Kemungkinan besar siapa yang kamu ajak bergaul atau keluarga adalah yang membentuk cara pikir & seleramu saat ini. Kalau lingkungannya suka mancing, kemungkinan besar kamu suka mancing. Kalau lingkungannya suka mempermainkan perasaan orang, kemungkinan besar kamu suka mempermainkan perasaan orang (ehh). Aku sendiri bukan orang yang suka membaca buku, bahkan dulu sangat benci. Tapi ketika punya teman dekat yang suka baca, perlahan-lahan aku mulai suka membaca buku.
Ada juga benda lain yang bisa mempengaruhi selain lingkungan: konten yang kamu konsumsi. Kamu bisa saja membaca buku, lalu dari buku itu ada rekomendasi menarik yang bisa menginspirasimu. Begitu juga kalau denger Podcast. Kan isinya orang yang ngobrol tuh. Bisa saja kamu mendapatkan cara pikir alternatif dari Podcast itu. Dengerin podcast sekarang itu kan ibarat kamu nongkrong sama orang-orang. Podcast adalah Tongkrongan. Jadi hati-hati juga memilih Buku, Podcast, atau format konten lain yang mau dikonsumsi. Mereka bisa mempengaruhimu.
Anyway. Begitulah algoritma. Memompa apapun yang memang sudah ada dalam dirimu. Kalau baik, ya bagus. Kalau buruk, ya masalah. Algoritma cuma bikin diri ini semakin egois. Kita perlu keluar dari arus ini untuk terciprat rekomendasi yang berbeda atau bahkan belum pernah kita tau sebelumnya. Bisa melalui orang lain, offline atau online. Bisa melalui konten yang dikonsumsi, audio atau visual.
Suksma.